Thursday, 21 February 2013

"Yang Pintar" dan "Yang Nakal" - Tentang 'Mahasiswa'


Apa artinya 'menjadi mahasiswa' bagi anda, terutama mahasiswa baru? Jika anda berkunjung ke kantor Direktorat Kemahasiswaan UGM satu atau dua tahun lalu, maka anda akan tahu bagaimana 'mahasiswa' didefinisikan: berprestasi, menang PKM, tidak demo, selalu optimis, tidak kritis, dan patuh pada aturan-aturan rektorat. Di direktorat kemahasiswaan, jangan harap ada aktivitas diskusi keilmuan kritis atau pembangunan pengetahuan. Yang ada ialah petugas 'sangar' yang menjaga proposal UKM atau BEM, berbagai spanduk dan poster tentang mahasiswa berprestasi atau PKM, prosedur pengajuan proposal, hingga Direktur Kemahasiswaan yang siap 'tanda tangan' pada proposal mahasiswa. Ungkapan yang hadir di sana pasti akan bernada prestatif: Semakin berprestasi mahasiswa (dilihat dari penghargaan/anugerah yang ia terima), maka ia akan semakin bernilai di hadapan rektorat atau Direktorat kemahasiswaan.

Potret diri mahasiswa ini dibangun melalui berbagai ajang, baik yang bersifat kolektif maupun individual. Ada program yang namanya SP2MP, yang aktivitasnya bertujuan untuk membentuk citra diri mahasiswa seperti ini (kebetulan saya juga bergabung di dalamnya). Program itu bagus, tetapi dengan muatan yang sudah tentu berpretensi pada norma yang diciptakan  rektorat tersebut. Sudah tentu, potret diri mahasiswa ini akan berbeda 180 derajat dengan potret 'aktivis' yang sering demo, kritis terhadap kebijakan rektorat, paham politik, menolak aturan rektorat (semisal: KIK), IP-nya pas-pasan, dan lain sebagainya.

Pemaknaan mengenai ''mahasiswa' ini menjadi semacam diskursus hegemonik di perguruan tinggi akhir-akhir ini. Di banyak perguruan tinggi, diskursus semacam ini dimunculkan untuk meredam gejolak aktivismer mahasiswa yang seringkali kritis terhadap kebijakan kampus. Gerakan mahasiswa memang memiliki kecenderungan untuk 'terlibat' dalam kegiatan yang dinilai oleh kampus bersifat politis, seperti protes, demonstrasi, atau semacamnya. Tentu saja, kampus memiliki kepentingan untuk mendepolitisasi mahasiswa. Dan jalan untuk mendepolitisasi tersebut, alih-alih merepresi aktivitas kemahasiswaan seperti era 1980an, adalah dengan menerapkan diskursus tandingan tentang 'mahasiswa'.

Saya ingin meminjam sedikit istilah dari Michael Foucault tentang governmentality. Dalam "The Birth of Biopolitics" (2001), kumpulan ceramah Foucault di College de France 1978-79. Foucault memperkenalkan istilah governmentality untuk membongkar praktik kekuasaan pada pemerintahan/pembangunan. Menurut Foucault, government adalah sebuah fenomena, eksistensi, atau regularitas yang lahir dari mekanisme yang terkondisikan dengan baik (intelligible mechanisms) untuk satu tujuan tertentu. Praktik dari governmentalityberbeda dengan disiplin atau hukuman, dimana seorang subjek dikondisikan dengan aturan-aturan tertentu atau 'dihukum' jika tidak sesuai dengan aturan tersebut. 'Governmentality' adalah upaya untuk mengatur dengan menyediakan kondisi-kondisi yang menyebabkan seseorang dapat hidup pada norma-norma yang ditentukan oleh negara. Institusionalisasi norma menjadi target dari 'governmentality', sehingga seorang subjek warga negara bisa hidup dan "will do (something) as they ought" (Li, 2007).

Meminjam istilah Foucault ini, potret diri mahasiswa yang ditampilkan oleh rektorat adalah representasi dari kepentingan rektorat terhadap mahasiswa. Rektorat ingin meng-govern mahasiswa, tentu saja tidak dengan pola lama 'disiplin dan hukuman', tetapi juga dengan memberikan norma baru yang memungkinkan mahasiswa mengikutinya secara sukarela. Diskursus mengenai mahasiswa, sebagaimana versi rektorat UGM (pada waktu itu) atau pada rektorat universitas lain, adalah diskursus yang diciptakan. 'Mahasiswa' sebagai sebuah identitas, jika meminjam Laclau dan Mouffe, adalah subjek yang tak pernah final. Ia selalu berada pada dislokasi, tarikan dari pemaknaan satu ke pemaknaan lainnya. Rektorat berkepentingan untuk menghegemoni pemaknaan mengenai 'mahasiswa' tersebut agar bisa menciptakan sebuah formasigovernmentality yang efektif guna mengatur mahasiswa dan aktivitas yang mereka lakukan secara normatif.

Tahun 1980an, strategi yang dilakukan oleh pemerintah dan juga universitas adalah dengan "discipline and punish". Waktu itu, banyak mahasiswa yang di-DO karena menentang kebijakan pemerintah atau keputusan kampus, juga yang ditangkap karena demonstrasi. Mendikbud waktu itu, Daoed Joeosoef, melakukan praktik pendisiplinan melalui kebijakan NKK/BKK, penutupan Dewan Mahasiswa dan depolitisasi mahasiswa di tingkat fakultas. Keputusan ini efektif untuk mendepolitisasi mahasiswa. Pasca-reformasi, tentu saja model represi seperti ini tidak bisa dilakukan, apalagi dengan demokratisasi serta menurunnya peran negara dalam pengaturan kampus. Mahasiswa yang juga sempat menguat di akhir 1990an juga kemudian mengubah pola pendisiplinan menjadi pengaturan (governing).

Tetapi, kalau dibandingkan, dua pola di atas tak jauh bebeda dari segi substansi. Diskursus tentang mahasiswa yang saya gambarkan di atas tentu saja memberikan sebuah kultur baru mahasiswa, agar menjauhi aktivitas yang berbau politis. Kita bisa melihat bagaimana diskursus tersebut beroperasi melalui politik eksklusi dan inklusi yang ditampilkan berdasarkan diskursus yang diciptakan oleh rektorat untuk menghegemoni arena diskursivitas mahasiswa. Dalam beberapa paparan rektorat pada tahun-tahun sebelumnya, demonstrasi mahasiswa dikesankan sebagai tindakan yang 'kurang sesuai dengan etika' dan 'tidak ilmiah'. (Ini dicatat seorang kawan dari statement rektor ketika aksi menolak KIK BEM se-UGM pada Maret 2011). Jika kita lihat, argumen-argumen mahasiswa ketika berdemonstrasi pada tahun-tahun lalu akan dijawab dengan bahasa yang bernada moralistis. Hal ini dapat dilihat sebagai sebuah praktik diskursif:pertama, rektorat mencoba menghegemoni pemaknaan mengenai 'etika' dan 'ilmiah' dengan menghadapkannya pada satu hal: tidak berdemonstrasi atau mengkritik kebijakan secara langsung. Kedua,mereka yang berdemonstrasi atau mengkritik dengan jalan ekspresi langsung akan dieksklusi dengan argumen etika dan 'ilmiah'.

Konstruksi diskursif tentang 'mahasiswa' tentu saja akan digiring ke arah 'mahasiswa yang punya moral -ini dimaknai dengan moralitas khas Jawa yang menempatkan orang tua lebih tinggi- dan mahasiswa yang berprestasi secara akademik atau pengembangan soft skill. Untuk memperkuat diskursus ini, tentu saja perlu instrumen yang memungkinkan diskursus ini beroperasi. Dilancarkanlah berbagai kegiatan pengembangan soft skill, semisal dengan PKM dan sejenisnya. PKM, pengembangan karakter, mahasiswa berprestasi, dan lain sebagainya tentu saja adalah program yang awalnya bersifat baik. Namun, di sini, rektorat menghegemoni pemaknaan dari kegiatan-kegiatan tersebut dengan memberikan konstruksi diskursif atas program tersebut. Kita bisa lihat, contohnya, pada PKM. Program ini menghegemoni makna penelitian, bahwa makna 'penelitian' itu adalah yang bernilai akademik dan memajukan prestasi universitas, di kancah nasional. Namun, program ini sekaligus juga mengeksklusi pemaknaan penelitian yang 'kritis', misalnya yang berpretensi pada upaya membongkar relasi-relasi kekuasaan atau yang bersifat 'politicized'. Sehingga, akan sangat jarang PKM yang bersifat kritis, membongkar perilaku-perilaku masyarakat, negara, atau kampus dalam relasinya dengan masyarakat. Kampus meng-govern mahasiswa dengan penelitian yang bernada kompetitif seperti PKM.

Kita bisa lihat politik inklusi/eksklusi ini pada program atau kegiatan lain. Dengan praktik politik inklusi/eksklusi ini, diskursus tentang mahasiswa versi rektorat membelah mahasiswa menjadi "yang nakal" dan "yang pintar". Yang pintar adalah mereka yang berprestasi, memajukan nama kampus di level nasional/internasional, serta dapat menjadi "model" bagi mahasiswa lain. Secara tidak sadar, mereka digunakan oleh kampus untuk menginstitusionalisasikan norma yang diberikan kampus pada mahasiswa. "Prestasi" menjadi alat/instrumen governmentality, yaitu ketika institusi universitas mengatur mahasiswa dengan cara memberikan cara agar mahasiswa bisa melakukan sesuatu yang digunakan untuk mengembangkan dirinya sesuai dengan keinginan/kehendak kampus.Seperti kata Tania Murray Li, "...educating desires and configuring habits, aspirations and beliefs.."

Bagi mahasiswa baru, tentu saja format pemaknaan ini akan menjadi format pemaknaan yang diterima. Akan tetapi, diskursus tentang "mahasiswa pintar" takkan beroperasi tanpa adanya praktik eksklusi pada arena diskursivitas tersebut, yaitu "mahasiswa nakal". Yang disebut oleh kampus sebagai mahasiswa 'nakal' atau bandel ini, jika kita lihat praktik diskursif rektorat terutama satu atau dua tahun lalu, adalah mereka yang terlibat demonstrasi, mereka yang terlibat gerakan-gerakan kritik terhadap pemerintah, atau mereka yang membangkang terhadap kebijakan rektorat. Kita dapat lihat diskursus ini pada respons rektorat pada aksi penolakan KIK tahun lalu, di mana rektorat meminta mahasiswa menyerahkan 110 nama demonstran kepada rektorat untuk dididik atau diberi pengarahan. Modus semacam ini, jika meminjam Foucault, adalah modus disiplin dan hukuman, yaitu mereformasi subjek yang tidak patuh pada kemauan/kekuasaannya dengan menempatkan mereka pada sebuah desain sistem perbaikan. Jika seseorang tidak sesuai dengan norma yang telah diinstitusionalisasikan, ia bisa saja didisiplinkan dan dihukum agar 'sadar' dan kembali pada sistem kekuasaan dimana diskursus yang dikehendaki oleh pemilik kekuasaan beroperasi. Dalam konteks kampus, mereka yang membangkang pada modus kekuasaan rektorat akan didisiplinkan dengan pengarahan, sehingga bisa direhabilitasi menjadi 'mahasiswa' yang benar dalam versi universitas.

Dengan demikian, kita bisa melihat bagaimana diskursus tentang 'mahasiswa nakal' dan 'mahasiswa pintar' diciptakan untuk menghegemoni pemaknaan tentang 'mahasiswa' dan dengan demikian mengatur (governing) mahasiswa secara keseluruhan. Dalam karya Foucault, sudah tentu aktivitas governmentality itu adalah aktus kekuasaan. "power is exercised from innumerable points", kata Foucault dalam The History of Sexuality (1990). Kekuasaan itu diciptakan dalam poin-poin yang tak terhitung, kondisi ketaksadaran, dan dalam hubungan yang nonegaliter antarsubjek. Reproduksi dari diskusus 'mahasiswa pintar' tersebut dilakukan untuk menjaga agar hubungan kekuasaan antara universitas dan mahasiswa sebagai subordinasi mereka tetap berada pada kondisi yang diinginkan oleh universitas, agar mahasiswa tak lagi menjadi ancaman bagi formasi kekuasaan yang coba ia tampilkan di arena kekuasaan kampus.

Di sini, kita bisa lebih dalam melakukan penelaahan. Seperti kata Foucault, pengetahuan adalah arena dimana kekuasaan itu beroperasi. Diskursus yang 'hegemonik' tentang mahasiswa ini perlu diciptakan diskursus tandingannya, bahwa 'menjadi mahasiswa' bukan berarti tidak kritis, melainkan juga bisa menjadi alat untuk mengabdi kepada mereka yang terpinggirkan, memperjuangkan mereka yang tertindas, serta membongkar realitas sosial yang timpang oleh praktik-praktik kekuasaan, dengan pengetahuan... sebenar-benar berpengetahuan... Jika boleh saya menyimpulkan, kita perlu membaca 'pengetahuan' dengan cara yang baru, dengan pendidikan, bacaan, dan pengabdian.

Inilah kiranya pekerjaan rumah bagi aktivis mahasiswa saat ini. Tak hanya UGM, tapi juga, tentu saja, universitas lain yang sama-sama ingin memajukan 'dunia pengetahuan', bukan dunia kuliah semata....Wallahu a'lam bish shawwab.

*Hanya sekadar mencurahkan isi pikiran sebelum pergi.

Referensi
Dianne Ray (2011). "Universities and Reproduction of Inequalities" in John Holwood (ed.) A Manifesto for Public University.
Ernesto Laclau dan Chantal Mouffe (1986). Hegemony and Socialist Strategy: Towards a Radical and Democratic Politics.
Michael Foucault (2001). The Birth of Biopolitics: Lectures at College de France, 1978-79.
_____________ (1990). The History of Sexuality: Introduction.
Tania Murray Li (2007). "Governmentality" Anthropologica 49.
Mahmood Mamdani (2007) A Scholars in The Marketplace:Dilemma of Neo-Liberal Reform in Uganda
Wisnu Prasetya Utomo (2011). "Aksi Demonstrasi itu Tidak Ilmiah dan Melanggar Ajaran Agama"Blog. 
Balairung Press.

____________________________________________________                                                              



Ahmad Rizky M. Umar
Kastrat BEM KM UGM 2008 - 2012

No comments:

Post a Comment

Thanks for stalking and commenting! :D

(I am really sorry for your inconvenience due to comments moderation. It is notable for me to deliver responses. Your understanding is really appreciated.)

"Ketika kamu mampu mencintai tanpa alasan, suatu saat nanti kamu pasti juga akan mampu meninggalkan tanpa alasan" "Bermain-mainlah dengan imajinasi, bermain-mainlah dengan mimpi" "Lebih baik diasingkan daripada harus menyerah pada kemunafikan" "Bermimpilah setinggi angkasa. Jika kau kelak jatuh, kau akan terbaring bersama bintang-bintang" "You have no rights to judge my way unless you've walked my path" "Aksi memang tidak selalu menjanjikan perubahan, tetapi tanpa aksi tidak akan pernah ada perubahan"