Saturday 19 February 2011

Artikel: Apa tujuan kita belajar?

Pendidikan adalah salah satu faktor utama dalam peradaban suatu bangsa. Karena tinggi rendahnya suatu peradaban dapat dilihat dari tingkat pendidikannya. Semakin tinggi pendidikannya, semakin tinggi pulalah peradaban bangsa tersebut. Saat berbicara tentang pendidikan, maka kita juga akan berbicara tentang kualitas sumber daya manusia. Karena sumber daya manusia adalah  subjek dari pendidikan itu sendiri. Ketika suatu bangsa ingin menjadi bangsa yang beradab atau bangsa yang madani, disaat itulah tingkat pendidikan dapat diukur, apakah pendidikan bangsa tersebut sudah baik atau belum. Untuk dikatakan sebagai pendidikan yang baik, tentu diperlukan suatu sistem untuk mewujudkan tujuan pendidikan itu sendiri.


                Seperti yang telah kita ketahui bersama, dalam Pembukaan UUD 1945 alinea ke-4, dimana dapat disimpulkan bahwa salah satu tujuan bangsa ini adalah memajukan kesejahteraan umum dan mencerdaskan kehidupan bangsa. Mengapa penulis menggabungkan frase tersebut? Karena kedua hal tersebut merupakan hukum sebab-akibat yang tidak dapat dipisahkan. Secara teori, jika bangsa ini telah cerdas, kesejahteraan umum pun sudah di depan mata. Masalahnya adalah apakah sistem pendidikan di Indonesia telah diarahkan untuk mencerdaskan bangsa? Jika jawabannya ‘Ya’, lalu mengapa bangsa ini justru terus dirongrong perkara? Artinya, ada yang salah dengan sistem pendidikan bangsa kita. Dan artinya juga pemerintah belum melaksanakan amanat konstitusi untuk mencerdaskan bangsa. Atas dasar ini, rakya sangat mempunyai hak untuk menuntut.

                Mengapa penulis bisa berkata demikian? Apa indikator penulis? Sistem pendidikan saat ini, dimana siswa dituntut untuk memenuhi sejumlah tagihan nilai, sedangkan mata pelajaran yang ada disekolah pun tidak sedikit. Dan nilai tersebut juga akhirnya akan diakumulasikan dalam ijasah kelulusan. Dan apa yang dikampanyekan pemerintah dari sistem ini adalah, ‘sistem ini tidak lagi berorientasi pada nilai, tetapi pada proses’. Apa yang dikampanyekan pemerintah tersebut menurut penulis sangat tidak relevan dengan apa yang terjadi dilapangan. Ini justru semakin menegaskan bahwa untuk lulus, nilai siswa harus selalu bagus. Konsekuensinya adalah siswa terpacu untuk selalu mendapat nilai bagus. Tentu hal tersebut adalah baik, secara teori. Namun dengan sekian banyak mata pelajaran ditambah dengan tagihan nilai tiap mata pelajaran yang mencapai sekitar 20-an, ini tentu sangat memberatkan siswa. Disini penulis memisalkan pada sekolah penulis. Untuk kelas XI, ada 14 mata pelajaran dengan toleransi ketidaktuntasan 3 mata pelajaran non-jurusan. Untuk pelajaran Bahasa Inggris saja ada 28 tagihan nilai. Maka dalam 1 tahun, jika tagihan semua mata pelajaran adalah sama, siswa kelas XI harus menuntaskan 392 tagihan nilai, dengan rata-rata tugas perbulan sama dengan 32. Dengan demikian setiap hari siswa harus menuntaskan 1 tugas perhari. Lagi-lagi, permasalahannya adalah waktu belajar tiap mata pelajaran tidak sama dan terbatas karena mata pelajaran yang begitu banyak. Berarti, ini juga menuntut guru untuk memberi tugas besar guna memenuhi target nilai siswa. Hal ini seringkali membuat siswa menjadi tidak fokus akan pelajaran pokoknya. Misalnya,  seorang siswa IPA, pada hari selanjutnya akan menghadapi ulangan Biologi, sekaligus harus mengumpulkan makalah Bahasa Indonesia. Mungkina akan timbul pertanyaan, “Seharusnya tugas itu bisa diselesaikan jauh-jauh hari, kan?” Namun lihat kembali tentang jumlah mata pelajaran yang ada juga jumlah tagihan yang harus dituntaskan siswa, secara teori pun ini sangat memberatkan siswa. Namun apa pertimbangan pemerintah menerapkan sistem ini?

                Dari fakta diatas, muncul pertanyaan, “Sebenarnya apa tujuan pendikan kita saat ini?” Ketika penulis berusaha menghubungkan sistem pendidikan kita dengan tujuan pendidikan kita dengan melihat fakta diatas, penulis justru merasa semakin bingung. Bahkan penulis juga menduga bahwa tujuan pendidikan kita saat ini hanyalah untuk memenuhi kebutuhan dunia bisnis semata. Mengapa? Dunia bisnis adalah dunia yang dinamis dimana akan selalu ada tuntutan baru di setiap harinya dan hal tersebut harus dituntaskan demi menjaga reputasi bisnis tersebut. Bukankah dari hal ini kita dapat melihat persamaan dunia pendidikan kita dengan dunia bisnis, tagihan nilai sama dengan tuntutan pekerjaan. Intinya, yang dicari oleh dunia bisnis itu adalah orang yang mau dan bisa kerja. Siswa ke sekolah bukan lagi untuk belajar, tetapi untuk memenuhi tagihan nilai semata. Tiba-tiba muncul lagi pertanyaan, “Tapi yang dipakai di dunia bisnis itu kan ilmunya, bukan nilainya,” faktanya untuk mengincar posisi yang bagus dalam perusahaan kita harus mempunyai ijasah yang bagus bukan? Bahkan dalam zaman ini tidak hanya nilai yang diperlukan, tetapi juga ‘orang dalam’ atau bahkan ‘uang pelicin’ agar bisa memudahkan dalam mendapatkan pekerjaan.

                Dari survey yang dilakukan penulis terhadap teman-teman pribadi penulis, juga para pengguna media sosial, Twitter, banyak siswa SMA yang belum tahu mereka mau jadi apa nantinya. Dalam hemat penulis, permasalahan kembali pada sistem pendidikan yang tidak memfokuskan siswa pada satu titik keterampilan. Banyak juga siswa kelas XII yang hingga lulus pun belum tahu ingin jadi apa. Menurut penulis, ini tentu sangat merugikan siswa dan bangsa ini secara agregat. Berbeda dengan SMK yang dari kelas X sudah mengetahui mereka mau dan akan jadi apa nantinya. Juga, ilmu yang diserap siswa SMK semasa dibangku sekolah akan lebih terpakai dibanding ilmu yang diserap oleh siswa SMA. Tanpa merendahkan siswa SMA, siswa SMK yang ‘serius’ akan lebih cepat masuk ‘zona aman’ dibanding dengan siswa SMA dengan keseriusan yang sama. Karena mereka langsung bekerja dan mendapat penghasilan, sedangkan siswa SMA harus terlebih dahulu melalui bangku kuliah. Dari sini dapat penulis simpulkan bahwa SMA adalah tempat orang yang mau belajar untuk bisa bekerja, sedangkan SMK adalah tempat orang yang mau bekerja sambil belajar.

                  Pada akhirnya, penulis hanya ingin mengatakan bahwa mungkin akan lebih baik jika pemerintah memikirkan ulang sistem pendidikan yang ada saat ini. Karena sistem yang ada saat ini justru semakin menegaskan bahwa nilai itu yang utama. Juga, sebaiknya pemerintah membenahi sistem yang ada agar lebih memfokuskan siswa dari awal pendidikannya. Akan lebih baik lagi jika pemerintah mampu mendidik siswa sesuai dengan bakat dan keterampilan alamiah mereka. Akhir kata, penulis berharap dan mendoakan agar pendidikan Indonesia dapat terus membaik seiring waktu ang bergulir guna mencapai tujuan bersama bangsa ini, mencerdaskan kehidupan bangsa dan memajukan kesejahteraan umum.

Tulisan ini saya buat karena saya merasa prihatin dan kecewa dengan sisdiknas yang begitu meng-agungkan nilai. Sehingga membuat siswa melakukan segala cara utntuk mendapatkan nilai tersebut.

No comments:

Post a Comment

Thanks for stalking and commenting! :D

(I am really sorry for your inconvenience due to comments moderation. It is notable for me to deliver responses. Your understanding is really appreciated.)

"Ketika kamu mampu mencintai tanpa alasan, suatu saat nanti kamu pasti juga akan mampu meninggalkan tanpa alasan" "Bermain-mainlah dengan imajinasi, bermain-mainlah dengan mimpi" "Lebih baik diasingkan daripada harus menyerah pada kemunafikan" "Bermimpilah setinggi angkasa. Jika kau kelak jatuh, kau akan terbaring bersama bintang-bintang" "You have no rights to judge my way unless you've walked my path" "Aksi memang tidak selalu menjanjikan perubahan, tetapi tanpa aksi tidak akan pernah ada perubahan"