OKK_1206269033_Rencana-Nya yang Sempurna
|
Nama saya Muhammad Raditio Jati
Utomo. Dan, teman-teman cukup memanggil saya dengan Jati. Mengapa Jati? Karena
saya berharap untuk bisa sekokoh Pohon Jati. Saya ingin seperti Pohon Jati yang
tak gentar menghadapi kemarau. Saya ingin seperti Pohon Jati yang batangnya
tegak berdiri menatap sang mentari. Dan, saya ingin seperti Pohon Jati yang
semakin tua justru semakin kuat dan semakin bernilai.
Kisah
ini dimulai pada 1 Januari 1995, ketika saya dilahirkan dari rahim seorang ibu
yang sangat hebat yang bernama Dwi Puspasari dan dibesarkan bersama seorang
ayah yang bernama Subandrio Sofyan. Saya dilahirkan dan dibesarkan di Jakarta
di sebuah keluarga kecil yang hanya ada sepasang orang tua dan dua orang anak.
Saya sendiri merupakan seorang sulung. Sulung, atau anak pertama, merupakan
suatu tanggung jawab yang berat, dimana saya harus selalu memposisikan diri
sebagai seorang panutan dan contoh bagi adik saya, dimana saya harus selalu
memperjuangkan kesuksesan untuk memotivasi adik saya, serta dimana saya harus
selalu berusaha untuk menjadi figur yang sempurna di mata orang tua. Tentunya
ini buka sesuatu yang mudah, tetapi saya percaya akan salah satu ayat Al-Qur’an
yang menyatakan bahwa Allah tidak akan memberikan ujian kepada makhluknya
kecuali ujian itu bisa dilalui. Dan, saya juga percaya bahwa Ia tak mungkin
memberikan tanggung jawab ini tanpa suatu tujuan. Saya masih belum paham betul
apa tujuan-Nya memberikan tanggung jawab ini kepada saya, tetapi saya percaya
bahwa Ia sedang menyiapkan saya untuk sesuatu yang besar.
Saya
dibesarkan di keluarga pengusaha yang sederhana. Ayah saya adalah seorang wiraswasta di bidang
jual-beli, pemasangan, serta perbaikan air
conditioner(AC). Beliau hanyalah seorang lulusan SMK, dan saya bangga akan
hal itu. Seorang yang tidak pernah kuliah, tetapi tidak pernah berhenti
berusaha menguliahkan anak-anaknya. Dalam menjalankan usahanya, beliau dibantu
oleh Ibu saya sendiri sebagai bagian keuangan yang merupakan akuntan lulusan D3
Institut Perbanas. Penghasilan mereka memang tidak banyak, tetapi setidaknya
mampu untuk membuat kami tetap bisa memperpanjang hidup dan membiayai
pendidikan saya dan adik saya. Sebelum tahun 2001, rumah kami masih menyatu
dengan kantor ayah. Kantor ayah mirip ruko dengan tiga tingkat, dan kami
tinggal di lantai tiga dengan hanya satu kamar yang ditempati oleh empat orang.
Alhamdulillah, pada tahun 2001, ayah berhasil membangunkan kami rumah dari
jerih payahnya selama bertahun-tahun lamanya.
Saya
menghabiskan sebagian masa kecil hingga remaja saya di daerah Tebet. Mengapa
saya berkata demikian? Karena dari SD hingga SMA, saya bersekolah di daerah
Tebet, dimulai dengan SDS. Muhammadiyah 55, lalu SMPN 115 Jakarta, dan terakhir
di SMAN 26 Jakarta. Membosankan? Iya, jika di pikir-pikir, karena jarak dari
rumah ke sekolah biasanya tidak lebih dari 15 menit. Namun, jika dijalani,
entah mengapa, semuanya terasa menyenangkan bahkan ngangenin.
Kelas
XII SMA adalah masa-masa dimana saya merasakan kegalauan yang teramat sangat.
Saya baru menyadari kalau saya salah jurusan, saat itu saya sudah berada di
Kelas IPA. Pada saat penentuan jurusan di kelas X, saya bersikukuh memilih IPA
kendati saya sadar betul keterampilan matematis saya rendah. Saat itu
pertimbangan saya adalah saya ingin mengambil jurusan Ilmu Komputer saat
SNMPTN, tidak kondusifnya kondisi belajar Kelas IPS, dan yang terpenting adalah
siswa IPA bisa mencoba berbagai jurusan, termasuk jurusan IPS. Namun, di kelas
XII saya baru menyadari bahwa jati diri saya bukan di IPA. Namun, saya harus
bertahan, setidaknya hingga selesai UN. Alhamdulillah, berkat usaha serta
dukungan orang-orang terdekat saya mampu menuntaskan dengan Nilai Akhir 51,0.
Tibalah
saatnya dimana saya harus memantapkan diri untuk berjuang menuju jenjang
pendidikan tinggi. Saya harus memantapkan diri untuk memilih jurusan dan
memperjuangkannya. Setelah berdiskusi dengan orang tua, beberapa teman, dan
beberapa alumni, saya memantapkan diri untuk memprioritaskan Ilmu Hukum UI,
karena saya ingin menjadi diplomat agar bisa berkeliling dunia, karena selama
17 tahun saya hidup, saya belum pernah sekalipun ke luar negeri. Naasnya, saya
pernah gagal dalam SNMPTN Undangan, karena terlalu memaksakan kehendak
‘melompat’ jurusan. Hal itu menambah tekanan moral yang harus saya hadapi dalam
SNMPTN Tulis. Mungkin Allah telah menggariskan lain, ternyata saya gagal lagi
dalam SNMPTN Tulis. Saya sangat frustrasi karena merasa telah dua kali ‘ditendang’
dari kampus perjuangan. Saya menangis, saya menyesali diri yang lagi-lagi belum
bisa menciptakan lengkungan bangga di bibir orang tua saya. Terlebih, ayah
pernah bercerita bahwa Ia pernah direndahkan oleh orang tua peserta SNMTPN
Tulis yang lain saat menunggu saya ujian. Sungguh saya merasa tidak berguna
karena tidak bisa membungkam mulut orang itu dengan bukti bahwa saya berhasil
menjadi mahasiswa UI lewat jalur SNMPTN Tulis. Saya menyadari bahwa mental saya
belum cukup dewasa untuk cepat bangkit dari kegagalan. Namun, dengan segala
keterbatasan, saya mengumpulkan sisa-sisa semangat dan tekad yang ada untuk
menjadi bagian dari kampus perjuangan. Masih ada satu kesempatan lagi, Seleksi
Masuk UI(SIMAK-UI).
Hari
itu tiba, SMKN 29 Jakarta menjadi saksi bisu atas kegentaran saya saat
menghadapi ruang ujian SIMAK-UI. Masih sangat jelas terbayang layar laptop saya
yang menampilkan hasil ujian SNMPTN Tulis yang menyatakan bahwa saya gagal.
Saya telah memilih Ilmu Hukum Reguler, Ilmu Hukum Reguler, Ilmu Politik
Reguler, dan Sastra Rusia Reguler sebelumnya. Selesai ujian, saya sangat
pesimis, saya mencopot semua stiker UI yang ada di kamar saya, saya merasa
sudah tidak ada harapan lagi untuk mengenakan Jaket Kuning. Beberapa hari
menjelang pengumuman hasil SIMAK-UI, doa yang selalu saya panjatkan bukan lagi
agar Allah melancarkan jalan saya untuk menjadi bagian dari Fakultas Hukum UI,
melainkan agar Dia, Yang Maha Adil, memberikan yang terbaik yang bisa saya
dapatkan.
Alhamdulillah,
pada 19 Juli, sekitar jam 9 pagi setelah saya performance nasyid bersama grup saya, lalu saya mengecek dan
menemukan nomor ujian saya pada harian Kompas. Seketika saya langsung sujud
syukur karena Allah menjawab doa-doa saya selama ini. Lalu saya mengabari orang
tua saya tentang kabar bahagia ini. Subhanallah, meskipun impian saya tidak
tercapai untuk menjadi mahasiswa Ilmu Hukum, saya tetap bersyukur dan yakin
bahwa jalan inilah yang telah Ia gariskan untuk saya. Saya teringat pepatah
lama, “Sekali itu kebetulan, dua kali masih kebetulan, tapi tiga kali tidak
mungkin kebetulan, itulah takdirmu”. Inilah saya, Jati, Mahasiswa Sastra Rusia
Universitas Indonesia 2012.
tugas OKK UI 2012, otobiografi.
No comments:
Post a Comment
Thanks for stalking and commenting! :D
(I am really sorry for your inconvenience due to comments moderation. It is notable for me to deliver responses. Your understanding is really appreciated.)