Wednesday 14 September 2011

Artikel: Indonesia Menuju Negara Serikat

Indonesia Menuju Negara Serikat

           Indonesia, sebagaimana ditaksir oleh  beberapa tokoh dunia, mampu menjadi superpower baru dunia. Untuk mencapai kondisi superpower tersebut tentu ada beberapa parameter yang salah satunya adalah kemandirian bangsa. Saya kira kita sependapat dengan pandangan tersebut mengingat sumber daya alam(SDA) yang ada di Indonesia yang bisa dibilang berlimpah, dari mulai pertambangan, pertanian, perkebunan, perikanan, perhutanan, dan mungkin masih banyak lagi hingga saya tak mampu menyebutkan satu-persatu. Tentu hal ini bukan sesuatu yang mustahil apabila negara, melalui pemerintah, mampu mengelola SDA tersebut secara efisien dan berimbang. Yap! Saya mengatakan efisien dan berimbang, dimana konsekuensi dari kedua syarat tersebut adalah pemerintah harus adil dalam dalam mengelola SDA yang ada di Indonesia, seperti tercantum dalam UUD 1945 Pasal … ayat …, yang intinya menyatakan bahwa SDA tersebut dikelola sebesar-besarnya demi kemakmuran rakyat. Bila kita berbicara tentang SDA maka kita juga akan terhubung dengan pentingnya pengelolaan sumber daya manusia(SDM), karena SDM itulah yang nantinya akan mengelola berbagai sumber daya yang ada. Pendek kata, kemandirian bangsa akan tercipta apabila pemerintah mampu mengelola berbagai sumber daya yang ada secara efisien, adil, dan berimbang.


Namun demikian, saya berpendapat bahwa sulit bagi Indonesia untuk mencapai kondisi superpower dikarenakan wilayah Indonesia yang sangat luas dimana masing-masing wilayah memiliki ciri khas tersendiri, baik secara SDA, kebudayaan, dan banyak variabel lainnya. Sedangkan saat ini kita menganut bentuk negara kesatuan, yang artinya hanya ada satu pemerintahan yaitu yang berkedudukan di ibukota negara. Sedangkan, pemerintah daerah hanyalah merupakan perpanjangan tangan pemerintah pusat yang berimplikasi pada kebijakan yang terlahir dari pemerintah daerah wajib tetap mengacu pada ketentuan pemerintah pusat. Konsekuensi logis dari hal tersebut, bagi negara seluas Indonesia, adalah tidak adanya efisiensi dalam pengambilan kebijakan daerah dan kurang terakomodasinya aspirasi daerah yang berakibat pada ketidakpuasan masyarakat daerah. Contoh nyata adalah peristiwa separatis yang terjadi di Papua dan Aceh, dimana dari ketidakpuasan masyarakat daerah tersebutlah akhirnya terbentuk kelompok separatis garis keras seperti GAM dan OPM. Atas dasar inilah saya mempertanyakan apakah masih relevan jika hingga saat ini Indonesia menganut bentuk negara Kesatuan. Dimana dampak dari bentuk tersebut adalah ketidakstabilan negara yang juga ‘menyatu’. Padahal, banyak hal yang mungkin urgensinya lebih besar yang harus ditangani oleh pemerintah pusat. Satu contoh tambahan, peristiwa perebutan Pulau Sipadan dan Ligitan yang akhirnya dimenangkan oleh Malaysia. Mengapa Malaysia bisa menang? Karena memang masyarakat disana merasa bahwa aspirasi mereka tidak terakomodasi oleh pemerintah yang diwujudkan dalam tidakadanya campurtangan pemerintah dalam pembangunan Pulau Sipadan dan Ligitan.

Sekali lagi saya mengingatkan, hanya ada satu pemerintahan dalam bentuk negara Kesatuan, jadi pemerintah daerah hanyalah perpanjangan tangan pemerintah pusat yang secara otomatis kewenangannya pun tidak seluas pemerintah pusat. Atas dasar tersebut diatas, sekali lagi saya mempertanyakan urgensi dari mempertahankan bentuk negara yang dianut saat ini, bentuk negara Kesatuan. Konsekuensi logis yang lain dari bentuk negara Kesatuan adalah sulitnya melakukan pemerataan pembangunan, karena garis besar pembangunan daerah juga ikut ditentukan oleh pemerintah pusat. Contoh, mungkin pemerintah mempunyai target tahun N seluruh provinsi harus sudah melakukan instalasi listrik. Kembali lagi kepada faktor geografis Indonesia yang sangat luas yang berimplikasi pada banyak faktor, beberapa adalah struktur masyarakat dan pendanaan daerah. Tentu akan lebih sulit melakukan instalasi listrik di masyarakat baduy dalam dibanding melakukan instalasi listrik di masyarakat perkotaan yang notabene sangat membutuhkan listrik. Akhirnya, target pun tidak tercapai, dan pemerataan pembangunan dinilai gagal. Pada masalah pendanaan, kita dapat melihat pada tidak berimbangnya pemasukan daerah yang didapat dari pusat. Walaupun telah mempertimbangkan aspirasi daerah, tentu pemerintah mempunyai perhitungan sendiri yang mungkin pada akhirnya kurang mengakomodasi aspirasi daerah. Tidak heran jika saat ini kita melihat suatu daerah yang terus berkembang sedangkan daerah yang lain justru terus tertelungkup dalam keterpurukan.

Satu-satunya solusi yang saya rekomendasikan untuk menjawab segala permasalahan diatas hanyalah satu, yakni perubahan bentuk negara menuju negara federasi. Mungkin terdengar kontroversial atau bahkan asing, bukan? Yap! Alasan saya sebenernya sudah bisa anda analisa sendiri dari contoh kasus yang sudah saya sebutkan sebelumnya. Dengan menjadi negara federasi, setiap provinsi yang selanjutnya disebut negara bagian, akan mempunyai tanggung jawab masing-masing untuk membangun dan mengembangkan daerahnya. Karena umumnya setiap negara bagian akan mempunyai kedaulatan terbatas yang sangat luas, diantaranya adalah diperbolehkan mempunyai  konstitusi, aparat keamanan, dan segala hal yang bersangkutan dengan kedaulatan kedalam, kecuali kedaulatan keluar dan hal-hal yang berkenaan dengan kepentingan nasional seperti membuat hubungan diplomatik mandiri dan mempunyai militer sendiri.

Bayangkan jika Aceh menjadi negara bagian, maka pemerintah pusat atau federal tidak perlu mencampuri urusan daerah Aceh dan bisa memikirkan sesuatu yang mungkin urgensinya lebih tinggi. Pemerintah federal tidak perlu takut akan tidak terserapnya aspirasi daerah, karena secara otomatis parlemen dan pemerintah negara bagian Aceh akan bekerja lebih leluasa tanpa harus menunggu instruksi pemerintah federal, dan tanpa terikat aturan-aturan yang sekiranya tidak sesuai dengan keinginan masyarakat daerah Aceh. Jika Kalimantan adalah negara bagian, mungkin Pulau Sipadan dan Ligitan tidak perlu lepas dari pangkuan Indonesia hanya karena Pulau Sipadan dan Ligitan tidak tercatat di kabupaten terdekat.

Intinya, pemerintah federal tidak perlu memikirkan dan menangani masalah yang spesifik pada satu daerah, karena sebagai negara bagian sudah merupakan tanggung jawabnya untuk mengurus keperluan internal daerahnya sendiri. Pada akhirnya pemerintah federal hanya akan fokus memikirkan dan menuntaskan masalah yang sifatnya kepentingan nasional, misalnya penyiksaan TKI, merosotnya kurs mata uang,  terorisme, dan lain-lain. Tanpa mengurangi rasa hormat saya kepada Bapak Bangsa Indonesia, Sukarno, namun saya menyatakan bahwa saat ini bentuk negara kesatuan sudah tidak relevan dengan kebutuhan bangsa Indonesia dan sudah saatnya digantikan oleh bentuk negara federasi yang, menurut saya, implikasinya adalah mempercepat Indonesia menuju keadaan superpower.

No comments:

Post a Comment

Thanks for stalking and commenting! :D

(I am really sorry for your inconvenience due to comments moderation. It is notable for me to deliver responses. Your understanding is really appreciated.)

"Ketika kamu mampu mencintai tanpa alasan, suatu saat nanti kamu pasti juga akan mampu meninggalkan tanpa alasan" "Bermain-mainlah dengan imajinasi, bermain-mainlah dengan mimpi" "Lebih baik diasingkan daripada harus menyerah pada kemunafikan" "Bermimpilah setinggi angkasa. Jika kau kelak jatuh, kau akan terbaring bersama bintang-bintang" "You have no rights to judge my way unless you've walked my path" "Aksi memang tidak selalu menjanjikan perubahan, tetapi tanpa aksi tidak akan pernah ada perubahan"