Sunday 30 September 2012

Pendidikan Berkarakter - GUIM2


Urgensi Implementasi Pendidikan Berkarakter di Indonesia
Oleh Muhammad Raditio Jati Utomo - FIB 2012/Prodi. Rusia
sebagai esai untuk seleksi lanjutan Gerakan UI Mengajar Angkatan 2


“Pendidikan Berkarakter”, belakangan ini kerap kali kita mendengar kata-kata tersebut, entah dalam kesempatan formal, atau juga sekedar perbincangan kelas warteg. Namun, rasanya sangat sulit mendefinisikan apa itu “Pendidikan Berkarakter” sebenarnya. Mari kita tilik sejenak Kamus Besar Bahasa Indonesia(KBBI), “Pendidikan” adalah proses pengubahan sikap dan tata laku seseorang atau kelompok orang dalam usaha mendewasakan manusia melalui upaya pengajaran dan pelatihan; proses, cara, perbuatan mendidik. Sayangnya KBBI belum mampu mendefinisikan “Karakter”. Saya mencoba mencari referensi lain, dan saya menemukan “Character”, Bahasa Inggris dari “Karakter”, dalam Oxford Dictionary. Disebutkan bahwa “Character” adalah, “the mental and moral qualities distinctive to an individual”, yang bisa diartikan sebagai kualitas mental dan moral yang khas pada satu individu. Pada akhirnya kita mendapatkan sebuah artian bebas mengenai “Pendidikan Karakter”, yaitu proses pengubahan sikap dan tata laku seseorang atau kelompok orang dalam usaha mendewasakan serta membentuk kualitas mental dan moral yang khas pada manusia melalui upaya pengajaran dan pelatihan.
Setelah mendapatkan definisi “Pendidikan Karakter”, mari kita kembali ke awal, apa yang menyebabkan kata-kata tersebut kerap dilontarkan oleh berbagai pihak, termasuk pemerintah? Bila dikaitkan dengan berbagai realita problem yang konkret terjadi, baik di kalangan akar rumput maupun pucuk pimpinan, maka jawabannya adalah merebaknya fenomena degradasi moral, etika, keterikatan pada nilai-nilai kemanusian, serta nilai-nilai kebangsaan dan keagamaan. Wujud dari hal-hal tersebut ialah KKN, premanisme, plagiarisme, pergaulan bebas, seks pranikah, dan berbagai hal lainnya. Bahkan fenomena-fenomena tersebut telah mulai menjalar ke dalam jiwa-jiwa muda calon pemimpin bangsa. Sebut saja tawuran beberapa waktu lalu yang terjadi di bilangan wilayah Bulungan, Jakarta Selatan, yang menewaskan salah seorang siswanya; Pejabat-pejabat pemerintah yang terjerat beragam kasus korupsi; data yang menyebutkan bahwa remaja SMA di lima kota besar 85% sudah mencicipi hubungan seks. Masyarakat kita, khususnya generasi muda, sedang nyata-nyata berada dalam krisis karakter, karakter yang busuk dan penuh kemunafikan. Dalam era informasi ini media memiliki peranan yang teramat penting dalam proses pembentukan karakter. Sayangnya dewasa ini media acap kali kurang bijak, mendewakan rating, dan hanya menilai dari sudut untung-rugi secara materi. Jika saya beranalogi, manusia adalah batu, media informasi adalah selang air, informasi itu sendiri adalah air, sedangkan penggerak media itu adalah pompa air. Maka, sekokoh apapun batu, bila ditembak dengan air secara simultan dan berkelanjutan niscaya batu itu juga kan terlubangi. Pada titik ini, dampak dari materialistis bisa dengan jelas kita lihat seperti yang telah saya utarakan sebelumnya. Dan, pada titik ini pula penggalakkan “Pendidikan Berkarakter” menjadi sangat penting.
“Pendidikan Berkarakter” tidak hanya menitikberatkan pada aspek kognitif kuantitatif, dan logika kritis, namun juga pada aspek karakter moral, dan etika sosial siswa. Pengajar memainkan peranan penting, karena pengajar merupakan role model dari siswa yang dididik. Terlepas dari sistem yang ada, pengajar harus mampu menginternalisasikan karakter-karakter unggul ke dalam pribadi siswa, memotivasi siswa agar tidak terpengaruh hal-hal negatif yang bisa merusak karakter-karakter unggul yang telah diinternalisasikan, dan yang terpenting adalah pengajar harus mampu menginspirasi siswa agar karakter-karakter unggul yang telah diinternalisasikan dan dijaga mampu diaktulisasikan dalam kehidupannya. Mengutip pernyataan Kak Fini Rayi Arifiyani, seorang pengajar muda Indonesia Mengajar yang diambil dari prinsip sekolah batutis, “Guru tidak boleh marah, menyuruh, memukul.” Maka kita telah mempunyai setidaknya tiga resep untuk menyukseskan internalisasi karakter-karakter unggul dalam pribadi-pribadi siswa. Dan, untuk melaksanakan tiga prinsip tersebut, pengajar harus kreatif agar siswa tidak merasa dipaksa. Untuk mencapai tahap akhir yaitu menginspirasi siswa untuk mengaktualisasikan karakter-karakter unggulnya, pasti memerlukan proses yang panjang dan tidak mudah. Namun, perjuangan itu tidak akan sia-sia jika kita memiliki visi yang jelas, menjadikan bangsa ini bangsa yang terhormat, terpandang, berkarakter, serta mengembalikan Indonesia yang merdeka dan berjaya, sehingga kita bisa dengan lantang berkata, “Aku orang Indonesia dan aku bangga!”

No comments:

Post a Comment

Thanks for stalking and commenting! :D

(I am really sorry for your inconvenience due to comments moderation. It is notable for me to deliver responses. Your understanding is really appreciated.)

"Ketika kamu mampu mencintai tanpa alasan, suatu saat nanti kamu pasti juga akan mampu meninggalkan tanpa alasan" "Bermain-mainlah dengan imajinasi, bermain-mainlah dengan mimpi" "Lebih baik diasingkan daripada harus menyerah pada kemunafikan" "Bermimpilah setinggi angkasa. Jika kau kelak jatuh, kau akan terbaring bersama bintang-bintang" "You have no rights to judge my way unless you've walked my path" "Aksi memang tidak selalu menjanjikan perubahan, tetapi tanpa aksi tidak akan pernah ada perubahan"