Urgensi Implementasi Pendidikan Berkarakter di Indonesia
Oleh
Muhammad Raditio Jati Utomo - FIB 2012/Prodi. Rusia
sebagai esai untuk seleksi lanjutan Gerakan UI Mengajar Angkatan 2
“Pendidikan
Berkarakter”, belakangan ini kerap kali kita mendengar kata-kata tersebut,
entah dalam kesempatan formal, atau juga sekedar perbincangan kelas warteg. Namun, rasanya sangat sulit mendefinisikan
apa itu “Pendidikan Berkarakter” sebenarnya. Mari kita tilik sejenak Kamus
Besar Bahasa Indonesia(KBBI), “Pendidikan” adalah proses
pengubahan sikap dan tata laku seseorang atau kelompok orang dalam usaha
mendewasakan manusia melalui upaya pengajaran dan pelatihan; proses, cara,
perbuatan mendidik. Sayangnya KBBI
belum mampu mendefinisikan “Karakter”. Saya mencoba mencari referensi lain, dan
saya menemukan “Character”, Bahasa Inggris dari “Karakter”, dalam Oxford Dictionary. Disebutkan bahwa “Character”
adalah, “the mental and moral qualities distinctive to an individual”, yang bisa diartikan sebagai kualitas
mental dan moral yang khas pada satu individu. Pada akhirnya kita mendapatkan
sebuah artian bebas mengenai “Pendidikan Karakter”, yaitu proses pengubahan
sikap dan tata laku seseorang atau kelompok orang dalam usaha mendewasakan
serta membentuk kualitas mental dan moral yang khas pada manusia melalui upaya
pengajaran dan pelatihan.
Setelah mendapatkan definisi “Pendidikan Karakter”, mari
kita kembali ke awal, apa yang menyebabkan kata-kata tersebut kerap dilontarkan
oleh berbagai pihak, termasuk pemerintah? Bila dikaitkan dengan berbagai
realita problem yang konkret terjadi, baik di kalangan akar rumput maupun pucuk
pimpinan, maka jawabannya adalah merebaknya fenomena degradasi moral, etika, keterikatan
pada nilai-nilai kemanusian, serta nilai-nilai kebangsaan dan keagamaan. Wujud
dari hal-hal tersebut ialah KKN, premanisme, plagiarisme, pergaulan bebas, seks
pranikah, dan berbagai hal lainnya. Bahkan fenomena-fenomena tersebut telah
mulai menjalar ke dalam jiwa-jiwa muda calon pemimpin bangsa. Sebut saja
tawuran beberapa waktu lalu yang terjadi di bilangan wilayah Bulungan, Jakarta
Selatan, yang menewaskan salah seorang siswanya; Pejabat-pejabat pemerintah
yang terjerat beragam kasus korupsi; data yang menyebutkan bahwa remaja SMA di
lima kota besar 85% sudah mencicipi hubungan seks. Masyarakat kita, khususnya
generasi muda, sedang nyata-nyata berada dalam krisis karakter, karakter yang
busuk dan penuh kemunafikan. Dalam era informasi ini media memiliki peranan
yang teramat penting dalam proses pembentukan karakter. Sayangnya dewasa ini
media acap kali kurang bijak, mendewakan rating,
dan hanya menilai dari sudut untung-rugi secara materi. Jika saya beranalogi,
manusia adalah batu, media informasi adalah selang air, informasi itu sendiri
adalah air, sedangkan penggerak media itu adalah pompa air. Maka, sekokoh
apapun batu, bila ditembak dengan air secara simultan dan berkelanjutan niscaya
batu itu juga kan terlubangi. Pada titik ini, dampak dari materialistis bisa
dengan jelas kita lihat seperti yang telah saya utarakan sebelumnya. Dan, pada titik
ini pula penggalakkan “Pendidikan Berkarakter” menjadi sangat penting.
“Pendidikan Berkarakter” tidak hanya menitikberatkan pada
aspek kognitif kuantitatif, dan logika kritis, namun juga pada aspek karakter
moral, dan etika sosial siswa. Pengajar memainkan peranan penting, karena
pengajar merupakan role model dari
siswa yang dididik. Terlepas dari sistem yang ada, pengajar harus mampu
menginternalisasikan karakter-karakter unggul ke dalam pribadi siswa, memotivasi
siswa agar tidak terpengaruh hal-hal negatif yang bisa merusak
karakter-karakter unggul yang telah diinternalisasikan, dan yang terpenting
adalah pengajar harus mampu menginspirasi siswa agar karakter-karakter unggul
yang telah diinternalisasikan dan dijaga mampu diaktulisasikan dalam
kehidupannya. Mengutip pernyataan Kak Fini Rayi Arifiyani, seorang pengajar
muda Indonesia Mengajar yang diambil dari prinsip sekolah batutis, “Guru tidak
boleh marah, menyuruh, memukul.” Maka kita telah mempunyai setidaknya tiga
resep untuk menyukseskan internalisasi karakter-karakter unggul dalam
pribadi-pribadi siswa. Dan, untuk melaksanakan tiga prinsip tersebut, pengajar
harus kreatif agar siswa tidak merasa dipaksa. Untuk mencapai tahap akhir yaitu
menginspirasi siswa untuk mengaktualisasikan karakter-karakter unggulnya, pasti
memerlukan proses yang panjang dan tidak mudah. Namun, perjuangan itu tidak
akan sia-sia jika kita memiliki visi yang jelas, menjadikan bangsa ini bangsa
yang terhormat, terpandang, berkarakter, serta mengembalikan Indonesia yang
merdeka dan berjaya, sehingga kita bisa dengan lantang berkata, “Aku orang
Indonesia dan aku bangga!”
No comments:
Post a Comment
Thanks for stalking and commenting! :D
(I am really sorry for your inconvenience due to comments moderation. It is notable for me to deliver responses. Your understanding is really appreciated.)